Archive for the ‘Hadis’ Category

h1

Filsaafat Ibnu Thufail

7 Februari 2009

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna lagi paripurna, kesempurnaannya tampak pada kecakapan dalam menghadapi pelbagai bentuk permasalahan hidup yang merupakan manifestasi dari kesucian fitrah insaniyah yang dianugrahkan oleh Allah kepadanya, dan keparipurnaannya tampak pada kemampuannya menganalisa setiap permasalahan guna mendapatkan jalan keluar yang akurat tanpa menimbulkan sebuah permasalahan yang lebih parah dari sebelumnya, keparipurnaan ini merupkan bentuk manifestasi akal yang menjadi bagian utama terbentuknya makhluk Tuhan dibumi yang teristimewa diantara seluruh makhluk yang tercipta.
Diantara masa terputusnya ke-Rasul-an Isa A.s dan diutusnya Muhammad Saw sebagai Rasul Allah yang terakhir sebagai penutup dan penyempurna seluruh risalah samawiyah, manusia berada pada kebimbangan dan terombang-abing akibat kehilangan bimbingan ditambah dengan kesewenang-wenangan sebahagian ahli Kitab dalam melakukan perubahan Injil dan perombakan Torah serta kesewenang-wenangan para penginjil dalam melakukan pendoktirinan sesat kepada umat manusia yang hidup pada masa transisi ke-Rasul-an tersebut, maka sekolompok manusia yang mayoritasnya berkebangsaan Yunani melakukan penentangan terhadap indoktrinisasi Gereja yang dianggap sesat lagi menyesatkan dengan menggunakan nalara-kritis terhadap doktrin-doktrin Gereja yang merupakan hasil penalaran akal terhadap kebenaran yang terdapat dibalik fisik almiyah dan metafisik. Kelompok manusia ini kemudian dikenal dengan istilah Filosof yang diartikan sebagai para pencari hikmah. Penggunaan istilah ini merupakan bentuk perlawanan terhadap para retorik-retorik sesat yang dikenal dengan istilah Shophis yang mengginakan cara berfikir sesat (shophistry) atau dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah shafasthah.
Pernayataan di atas menunjukkan bahwasanya filsafat pertama kali dirimuskan diperkenalkan dalam Bahasa Yunani kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa Suryani lalu ke dalam Bahasa Arab. Al-Ahani dalam Filsafat Islam mengungkap penuturan al-Faarabi tentang kisah perjalanan filsafat sejak bangsa-bangsa kuno sampai pada orang Arab sebagai berikut:
Konon ilmu tersebut pada zaman dahulu milik orang-orang Kaldan, penduduk Iraq. Lantas berpindah pada orang Mesir lalu berpindah lagi pada orang Yunani, beberapa kurun waktu kemudian, ilmu tersebut berpindah lagi pada orang-orang Arab. Semua yang tercakup dalam ilmu itu dirumuskan dalam bahasa Yunani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Suryani lalu kedalam bahasa Arab. Ilmu yang mereka peroleh dari orang-orang Yunani itu pada umumnya mereka beri nama Hikmah dan Hikmah Terbesar.
Jika kita memperhatikan dan dapat memahami dengan baik tentang perjalanan filsafat yang dikemukakan al-Farabi, maka kita akan berkesimpulan bahwa Filsafat (Hikmah) adalah milik orang-orang Arab yang hilang. Hal ini sejalan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan Ibnu Majah
الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
“Kalimat penuh hikmah adalah permata mu’min yang hilang, maka dimanapun hikmah itu ditemukan, maka hendaklah mengambilnya”
Dengan berdasar pada hadis di atas, maka lahirlah al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina yang ketiganya merupakan presentsi filosof Islam dari Masyriqi, kemudian Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd yang ketiganya merupakan presentasi filosof muslim Magribi.
Dalam makalah ini, penyusun akan berusaha mengulas sekelumit tentang peran Ibnu Thufail dalam mengmbangkan filsafat dan memperkenalkan pada dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Ibnu Thufail dan bagaimana latar belakang hidup dan pendidikannya?
2. Bagaimana bentuk pemikiran filsafat Ibnu Thufail?

PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Ibnu Thufail
1. Nama, Keturunan, Kelahiran dan Wafatnya
Ibnu Thufail bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Muhammad bin Thufail. Beliau adalah seorang yang berketurunan Arab yang nasabnya disandarkan kepada Qabilah Qais, sehingga beliau disebut dengan Ibnu Thufail al-Qaisi al-Andalusi al-Isybili, al-Qurthubi.
Beliau lahir di desa Asy salah satu kota yang berada diwilayah Gharnatha Andalusia, sementara itu tidak ada satupun sejarah yang menjelaskan akan tanggal dan tahun kelairannya namun ada yang menyebutkan bahwa beliau lahir sebelun tahun 506 H, atau dengan kata lain beliau lahir pada abad ke-6 Hijriyah (awal Abad ke 12 M).
Beliau wafat di kota Marakisy pada tahun 1185 M, dan al-Manshur mengantarkan jenazah beliau ketempat peristirahatan terakhirnya.
2. Kehidupan Ibnu Thufail
Tidak terdapat dalam sejarah yang menjelaskan tentang masa kanak-kanak ibnu Thufail dan bagimana beliau perjalanan intelektual beliau, ada yang mengatakan bahwa beliau menjadi murid bagi Ibnu Rusyd akan tetapi tidak terdapat pernyataan dari beliu tentang hal itu, diantara para muarrikh ada yang menyatakan behwa beliau adalah murid dari Ibnu bajjah, nmun Ibnu Thufail membantah hal tersebut dalam karyanya “Hayy Ibnu Yaqzhan” dimana beliau menyebutkan bahwa beliau mendengarkan tentang pemikiran Ibnu Bajjah dan mempelajarinya akan tetapi beliau tidak pernah bertemu dengan Ibnu Bajjah meskipun hanya sekali.
Meskipun sejarah tidak merekam tentang perjalanan hidup Ibnu Thufail kecil akn tetapi para sejarawan merekam begitu banyak tentang kedudukan beliau yang sangat tinggi dalam filsafat dan kedokteran serta keluasan ilmu.
Disebutkan bahwasanya Ibnu Thufail adalah seorang dokter yang masyhur dan ahlimatematika dan syair di kota Garnathah, dan beliau merupakan dokter khusus Gubernur dan juga beliau menjabat sebagai skretaris khusus Gubernur pada dua kota yaitu Sabtah dan Tanjah dan yang menjabat sebagai gubernur pada masa itu adalah putra abdul Mu’min.
Kemudian karir beliau meningkat ketika beliau berhubungan dengan khalifah Abu Ya’qub Yusuf kahlifah ke-2 dari keturunan Penguasa Muwahhidin. Pada masa itu beliau diangkat sebagai dokter utama dan kemudian menjadi kolega terdekat Abu Ya’kub Yusuf dan menjadi dokter khusus sang penguasa bahkan beliau diangkat menjadi mentri kerajaan yang membidangi kedokteran dan kehakiman.
Berpijak pada jabatan terakhir inilah Ibnu Thufail mendapat kesempatan yang sangat luas untuk mengembangkan filsafatnya.
3. Karya-Karya dan Kedudukan Ibnu Thufail
Ibnu al-Khathib menyebutkan bahwa di kota tempat kelahirannya Ibnu Thufail mengajarkan kedokteran dan selama beliau mengajar beliau menulis dua judul buku yang berhubungan dengan kedokteran. Abdul Wahid al-Marakisyi meriwayatkan dari salah seorang ank Ibnu Thufail bahwasanya kedekatan antara Ibnu Thufail dengan penguasa sangat dekat kemudian beliau beriniseatif untuk menulis buku tentang filsafat dan ilmu jiwa serta berbagai buku yang memuat syair-syair filsafat.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa diantara karya-karya Ibnu Thufail adalah Asarar al-Hikamh al-Masyriqiyah, yang kemudian dikenal dengan nama Hayy Ibnu Yaqdzan, tulisan-tulisan tentang ilmu jiwa, buku tentang kedokteran, tulisan-tulan yang beliu tulis ketika melakukan diskusi dengan Ibnu Rusyd yang didalmnya mencakup seluruh permasalahan ilmiyah dan filsafat, bahkan al-Marakisyi telah menemukan seluruh kitab dan risalah-risalah karya Ibnu Thufail tersebut utamanya kitab yang ditulis oleh Ibnu Thufail yang berbicara tentang ilmu jiwa.
Ibnu Abi Ushaibi’ah ketika membahas tentang latar belakang Ibnu Rusyd benyebutkan bahwa Ibnu Rusyd menyebut nama kitab karya Ibnu Thufail dengan nama Fii al-Buqa’i al-Maskunah wa al-Ghiru al-Maskunah, Ibnu Rusyd juga berkata dalam bukunya Ilahiyyat (Theologi) buku ke-12 bahwasanya Ibnu Thufail memiliki pemikiran yang sangat cemerlang tentang kejadian-kejadian baik internal maupun eksternal. Abu Ishak al-Batruji dalam salah satu risalahnya tentang ilmu falak menyebutkan bahwa Ibnu Thufail memiliki pandangan tentang ilmu falak yang sangat cocok untuk mengatasi permasalahan dan memahami pandangan-pandangan Batlimus tentang falak.
Meskipun Ibnu Thufail memiliki begitu banyak karya namun sangat sedkit yang sampai di tangan kita hingga saat ini bahkan boleh dikatakan bahwa diantara karya-karya monumental Ibnu Thufail yang sampai dan di pelajari oleh para pecinta filsafat hanya kitab beliau yang berjudul Hayy Ibnu Yaqdzan yang didalamnya tercermin tentang kedalaman pemahaman filsafat Ibnu Thufail yang menggambarkan tentang interaksi akal dengan wahyu dan interaksi akal dengan alam.
B. Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail
Karangan ibnu thufail menyebutkan beberapa karangan yang menyangkut tentang filsafat fisika, filsafat metafisika kejiawaan dan sebagainya. Disamping risalah-risalah kiriman kepada ibnu rusd. Akan tetapi karangan-karagan tersebut tidak samapai kepada kita , kecuali satu saja yaitu isalah Hay bin Yaqadhan yang merupakan inti sari pikiran-pikiran filsafat ibnu thufail, dan yang telah diterjemahkan kedalam berbagai macam bahasa. Sebenarnya judul buku ni sangat panjang yaitu hayyu bin yaqdzan fi asrarril hikmah alMasyriqiyyah, istakhlasha-ha min durari jawahiri al-fadhilur-ra’is Abi’ ali ibn Sina . al imam alfailasuf al-kamil al-‘arif abi ja’far Muhammad bin thufail .Suatu manuskrip di perpustakaan eskurial yang berjudul Asrar al hikmat al masyrikiah (rahasia filsafat timur) tidak lain adalah bagian dari risalah Hay bin Yaqadhan.
Risalah ini ditulis atas permintaan salah seorang kawannya untuk mengitisarikan filsafat timur , seperti yang kita dapati pada kata pengantarnya sebagai berikut:
“Wahai saudara yang mulia engkau minta agar sedapatnya mungkin aku membuka rahasia-rahasia filsafat timur yang sudah disebutkan oleh abu ‘ali ibn sina. Ketahuilah bahwa orang-orang yang mengingkari kebenaran yang tidak berisi kesamaran lagi, maka ia harus mencari filsafat itu dan berusaha memelikinya”
Risalah Hay Bin Yaqadhan yang ditulis oleh ibn thufail sesungguhnya berisi berbagai rumus filsafat yang disampaikan dengan lambang Hay bin yaqadhan yang merupakan lambang akal fikiran, sedangkan teman-temannya melambangkan selera, syahwat, perasaan marah dan tabi’at-tabi’at lazim yang ada pada manusia.
Diskusi antara hay bin yaqadhan dengan teman-temannya melambangkan pertentangan dengan akal fikiran dan selera syahwat, selain itu berat dugaan bahwa tulisan ibnu thufail ini erat kaitannya dengan serangan Al-Gazali terhadap dunia filsafat yang dimana pada saat itu orang-orang takut berfilsafat dan usaha-usaha para filosof muslim untuk mendamaikan filsafat dengan agama telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafat yang selama ini hanya untuk orang-orang tertentu, sekarang telah dapat pula dipahami oleh orang-orang awam. Karena itu amat logis buku ibnu thufail ini ingin menetralisir keadaan dan ingin mengembalikan ketempat yang semula yakni filsafat bukanlah “barang” yang haram. Pada sisi lain agar filsafat dapat dimengerti oleh orang-orang awam, filsafat dikomunikasikan lewat kisah yang amat menarik. Biasanya komunikasi melalui kisah,diminati dan dapat diterima. Dengan demikian bila hal ini dapat diterima tujuan yang hendak dicapai ibnu thufail melebihi akibat serangan Al-Gazali yakni ingin memesyarakatkan filsafat.
Sesudah itu dia mengatakan bahwa tujuan filsafat tersebut ialah memperoleh kebahagiaan dengan jalan dapat dapat berhubungan dengan akal fa’al melalui akal pemikiran. Persoalan tersebut merupakn perkara yang paling pelik pada masanya. Ada dua memperoleh kebahagiaan tersebut, pertama jalan tasawuf batini yang dibela oleh Al Gazali tetap tidak memuaskan ibnu thufail, kedua, jalan pemikiran dan perenungan yang ditempuh oleh Al farabi beserta murid-muridnya, dan yang hendak diperjelas oleh ibnu thufail. Dalam hal ini Munk mengatakan sebagai berikut:
“Ibnu thufail berusaha menurut caranya sendiri dalam memecahkan persoalan yang sangat menyibukkan filosof-filosof islam, yaitu persoalan “hubungan” atau dengan kata lain hubungan manusia dengan akal faal dan dengan allah. Cara Al gazali yang didasarkan atas rasa sufi tidak membuat ia tertarik, dan ia lebih mengutamakan cara ibnu Bajjah, ia mengikuti cara ini dan ikut serta dalam perkembangan pekerjaan pikiran si penyendiri (almutawahhid) yang dapat terbebas dari kesibukan-kesibukan masyararakat dan pengaruhnya. Selain dari itu, ia menjadikan penyendiri tersbut yang jauh sama sekali dari pengaruh masyarakat, telah terbuka pikirannya dan dirinya sendiri terhadap semua wujud, dan usahanya sendiri serta dorongan dari akal faaal ia dapat memahami rahasia-rahasia islam dan dengan persoalan metafisika yang paling tinggi”
Diantara pemikiran filsafat ibnu thufail seperti yang dikutip dari buku Kompilasi Filsafat Islamadalah sebagai berikut:
“Dunia ini pasi mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena ia bersifat immaterial maka kita tidak dapat mengenalinya lewat indera kita maupun imajinasi sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra”
“kekalahan dunia berarti kekalahan geraknya dan gerak membutuhkan penggerak atau penbyebab efisien dara gerak itu. Jika penyebab efisien tidak berupa benda maka kekuatannnya tentu terbatas dan kerenanya tidak mampu menghasilkan suatu pengaruh yang tidak terbatas. Oleh sebab itu penyebab efisien dai gerak kekal haruslah bersifat immaterial. Ia tidak boleh dihubungkan dengan materi ataupun dipisahkan darinya, ada didalam materi itu ataupun tanpa materi itu, sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda material, sedang penyebab efisien itu sesungguhnya lepas sama sekali dari itu semua.”
“Dunia ini adalah pengejawantahan dari esensi tuhan dan bayangan cahayanyayang tidak berawal ataupun berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaiman yang ada pada kepercayaan akan hari penentuan. Kehancuran berupa keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannya merupakan kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti terus berlangssung dalam satu atau bentuk lain, sebab kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi tuhan merupakan penerangan dan pengejawantahan yang kekal

Dari seluruh pembahasan tentang filsafat Ibnu Thufail di atas, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Ibnu Thufail yang tertuangkan kedalam sebuah judul buku Hayy Ibnu Yaqdzhan meliputi :
1. Urutan-urutan pengetahuan yang ditempuh oleh akal, yang dimulai dari obyek inderawi yang khusus hingga kepada pemikiran Universal.
2. Manusia dapat mengetahui wujud Tuhan lewat akal tanpa pengajaran dan petunjuk, yaitu pengetahuan lewat perantaraan tanda-tanda-Nya pada makhluk-Nya.
3. Akal manusia tidak mampu menmengungkapkan dalil-dali pemikiran yang berhubungan dengan ke-Azali-an Mutlak, qadim, huduts, ke-akhir-an zamanm dan segala yang behubungan dengan hal tersebut.
4. Meskipun akal mampu menembus qadim dan hududstnya alam, namun kelanjutan dari pemikiran tersebut adalah keyakinan atas wujudnya Tuhan.
5. Manusia dengan akalnya dapat mengetahui dasar-dasar akhlak yang bersifat amaliyah dan sosial.
6. Pengetahuan Akal yang sehat terhadap kebenaran, kebaikan dan keindahan dan Perintah Syariat Islam keduanya dapat dipertemukan tanpa harus diperselisihkan lagi.
7. Pokok dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh Syara’, yaitu dengan mengarahkan manusia berdasarkan kesanggupan akal masyarakat. Dan pangkal dari segala kebaikan adalah menepati batasan syariat dan meninggalkan pendalaman sesuatu yang tidak dapat diraba oleh akal.

KESIMPULAN
Dari seluruh pembahasan kami di atas, maka kami dapat menyimpulkan beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Ibnu Thufail adalah seorang filososf muslim yang dikenal sangat akrab dan dekat dengan penguasa, bahkan beliau menjadi kolega terdekat salah seorang penguasa Spanyo ke-2 yaitu Abu Ya’kub Yusuf, yang kemudian mengangkatnya sebagai dokter utama kerajaan, dan menjdi menteri yang membidangi kedokteran dan kehakiman.
2. Ibnu Thufail terkenal dengan kitabnya yang berjudul Hayy Ibnu Yaqdzan dimana kitab beliau ini menggambarkan tentang kedalaman filsafat dan hikamah yang beliau miliki, dimana beliau berutur dalam kitabnya tentang pertemuan antara akal dan wahyu dalam satu titik pengetahuan yaitu pengetahuan akan wujud-Nya Tuhan dan kebenaran, disisi lain kitab ini juga mencurahkan tentang ilmu Jiwa.

h1

Neo-Sofis Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi Islam

7 Februari 2009

Penulis : Adian Husaini
Judul Buku : Hegemoni Kristen – Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi
Cetakan Pertama
Penerbit: Gema Insani Press, Jakarta
Tahun Terbit : Muharram 1427 H, Februari 2006 M

Buku ini merupakan salah satu bentuk kegelisahan intelektual seorang tokoh yang melihat bagaimana pemahaman sekulariseme-liberal telah merasuki dunia kampus yang bercorak Islam utamanya di Indonesia seperti UIN, IAIN, STAI, PTAI dan kemapus-kampus Islam di dunia secara umum dan berusaha untuk mengotori pemikiran para mahasiswa Islam dengan menggunakan metodologi dan berbagai macam bentuk pendekatan terhadap studi Islam dimana metode-metode tersebut merupakan copy-paste dari Barat-Kristen. Keresahan dan kegelisahan semacam ini sesungguhnya telah ada sejak masa Imam al-Gazali dimana perang salib terjadi dibawah kendali panglima Islam terkemuka Shalahuddin al-Ayyubi. Buku ini ditulis oleh seorang tokoh bernama Adian Husaini yang bertujuan untuk mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin di Indonesia utamanya para akademisi muslim yang mengabdikan dirinya dikampus-kampus Islam, bahwa terdapat permasalahan yang sangat besar yang harus dihadapi secara bersama yakni tentang kemunkaran ilmu yang bercokol di berbagai perguruan tinggi islam di Inonesia seperti UIN/IAIN/STAI/PTAI.

Tentang tingginya kualitas Ilmu Islam (Ulumuddin) sebenarnya telah diperlihatkan oleh para sarjana muslim terdahulu seperti At-Thabary dengan kitab tafsir al-Qur’an-nya yang sangat terkenal dan bahkan menjadi rujukan utama para mufassir Islam sejak dahulu hingga hari ini, Ibnu Shalah dengan ulum al-Hadits-nya, Al-Bukhary, Muslim dan lain-lain dengan kitab Hadits yang mereka tulis, Ibnu Katsir, Ibnu Hisyam dan yang lainnya dengan kitab Tarikh mereka yang berjilid-jilid, serta al-Ghazali, Ar-Razy dan Ibnu Taimiyyah dengan kekuatan daya nalar dan kritis mereka terhadap segala bentuk, macam dan nama heresy yang terbentuk dan muncul pada masanya, belajar dari mereka tentang ketinggian ilmu dan kearifan serta adab dalam mengambil ilmu adalah sangat penting sebab mereka adalah para pelopor-pelopor ilmu yang berdedikasi tinggi baik dari segi kedalaman maupun tanggung jawab ilmiyah. Namun sangat disayangkan kaum neo-sofis dari kalangan muslim saat ini berusaha untuk meruntuhkan nilai-nilai dasar Islam yang telah diletakkan oleh Rasulullah Saw, para sahabat beliau dan para ulama Shaleh terdahulu dengan menambil secara serampangan segala bentuk metodologi studi ulumuddin dari kaum orientalis Barat-Kristan dimana mereka memiliki trauma terhadap agama Yahudi dan Kristen, demikianlah buku ini mengungkapkan akan perlunya kita belajar dari Imam al-Ghazali dimana Imam al-Gahzali mengatakan bahwa kemungkaran ilmu jauh lebih berbahaya dari pada kemungkaran lainnya.

Buku ini mengajak kita untuk melakukan telaah kritis dan bertanggungjawab secara ilmiyah terhadap segala macam bentuk pendekatan dan metodologi dalam mengkaji Ulumuddin yang dirumuskan oleh kaum orientalis (Barat-Kristen).

Barat-Kristan secara historis pasca kekalahan mereka pada perang salib telah berusaha untuk mengkaji nilai-nilai Islam secara teratur diantara mereka ada yang bertujuan hanya sebatas kebutuhan ilmiyah dan lebih banyak lagi yang bertujuan untuk mencari kelemahan dalam tubuh kaum muslim utamanya al-Qur’an dan hadis.
Antara Ulama dan Sofisme Islam

Indonesia merupakan salah satu diantara negara yang bependuduk mayoritas muslim menjadi lahan yang sangat bagi kaum orientalis untuk mengaktualisasikan seluruh hasil penelitian yang telah mereka bangun. terdapat berbagai macam bentuk metode hegemonik Barat-Kristen dalam menanam pengaryhnya di dunia Islam utamnya kaum muslimin di Indonesia diantara teknik jitu yang maih langgeng hingga saat ini adalah pengiriman para akademisi muslim ke Barat untuk duduk pada fakultas Islamic Studies pada berbagai universitas yang bertujuan agar mereka (akdemisi muslim Indonesia) tersebut mempelajari Islam dari mereka yang kemudian sekembalinya mereka dari mempelajari Islam di Barat dapat mengajarkannya kepada mahasiswa muslim di Indonesia, demikianlah yang terjadi pada diri sang Harun Nasution dengan bukunya Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, sepak terjang sang Harun Nasution dalam menanamkan pengaruh pemikiran sekulernya pada perguruan tinggi Islam di Indonesia utamanya IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN) kita akan menemukan kejelasannya alam buku ini.

Penyebaran paham sekularisme Barat dalam Studi Islam diperguruan tinngi Islam yang di pelopori oleh seorang tokoh bernama Prof. Dr. Harun Nasution kemudian mendapat bantahan yang cukup tajam yang dilakukan oleh seorang tokoh intelektual muslim yang telah banyak mengambil ilmu dari perguruan tinggi di Barat dan bahkan pernah menjadi Assisten Professor pada McGill Universty di Australia dengan mata kuliah hukum Islam dan sejarah, beliau adalah Prof. Dr. Muh. Rasyidy dengan semangat amar ma’ruf nahi munkar Beliau adalah sosok ulama Indonesia yang senantiasa dan berusaha agar pemahaman sekularisme tidak meraja lela dan berkelindan di dunia Islam utanya di Indonesia. Buku ini memaparkan tentang sejarah perjalanan dunia intelektual Prof. Rasyidy dan Prof. Harun serta bagaimana pertarungan mereka dalam dunia intelektual sekalipun keduanya adalah teman sejawat yang kedua-duanya berguru dibawah naungan Studi Islam yang didirikan oleh orientalis bernama Wilfred Cantwell Smith pada McGill University Australia.

Tidak hanya terbatas pada pembahasan tentang sepak terjang dua tokoh terkenal di Indonesia dan pertarungan intelektual keduanya, penulis juga secara kritis mempertanyakan tentang Quo Vaditas studi Islam di IAIN, dimana dalam sub judul bab ini secara kritis mengangkat dan menjelaskan tentang asal-usul isltilah “Islam Inklusif” dan hubungannya dengan pehaman inklusifisme dan eksklusifisme dalam dunia Kristen serta ketidak adilan para akademisi Islam yang secara institusi sebagai dosen atau staff pengajar pada perguruan tinggi Islam di Indonesia utamanya di UIN/IAIN/STAI/PTAI menggunakan Istilah “Islam Inklusif” dan menjelaskan kepada para mahasiswanya secara serampangan dan tidak kritis.

Pada bagian lain dari buku ini menjelaskan bahwa “Islam Inklusif” kemudian akan melahirkan sebuah rumusan pemkiran tentang keseragaman agama atau dengan istilah lain “Pluralisme” bahwa agama itu semua sama dengan kerancuan pemahaman terminologis yang berakibat pada pendangkalan Akidah Islam dan perubahan keyakinan kaum muslimin secara beasar-besaran.

Jika dahulu kita mengenal Prof. Dr. Harun Nasution dengan bukunya yang sangat terkenal Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang penuh dengan pemujaan terhadap orientalis dan pemahaman mu’tazilah yang secara tajam dan kritis mendapat bantahan dari rekan sejawatnya Prof. Dr. Muh. Rasyidy, maka pada masa sekarang kita kemudian diperhadapkan oleh seorang tokoh yang berkebangsaan mesir dan kini bermukim di Belanda sebagai seorang Prefossor dalam Studi Islam yang secara khusus telah merumuskan sebuah pemikiran baru dalam dunia tafsir yang disebut dengan Hermenutika dia adalah Prof. Dr. Nashr Hamid Abu Zayd, dia mengaku sebagai seorang muslim Sekuler-Liberal dengan pendapatnya yang sangat populer dia mengatakan bahwa “Al-Qur’an adalah Produk Budaya (Intaj Tsaqafy)” dimana latar belakang intelektualnya sebagaimana yang dikutip dalam buku ini yang disadur dari artikel Dr. Syamsuddin Arif membuat gempar para pengikut NH Abu Zayd di Indonesia sebab sang penulis artikel secara terang-terangan mengungkap tentang bagaimana sikap pemerintah Mesir terhadap pemikiran Abu Zayd dalam setiap tulisannya baik itu artikel maupun buku-buku yang telah diterbitkan.

Teologi Hermeneutika Abu Zayd dan Arkoun kini diajarkan diperguruan tinggi Islam bahkan secara kurikulum di UIN Syarif Hidayatullah mendapat porsi sebanyak 3 SKS dengan tujuan agar mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis dan mata kuliah (MK) ini merupakan MK wajib pada program studi Tafsir Hadis di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Jika hasil pemekiran seorang tokoh intelektual muslim seperti Fazhlurrahman, Abu Zayd, Arqoun, Harun Nasution, Nurkholis Madjid, Amin Abdullah, Komaruddin Hidayat, Jalaluddin Rakhmat, Taufik Adnan Amal dan yang menyetujui pemikiran mereka dapat hanyut dalam arus pemikiran orientalisme tanpa sikap adil dan kritis apatah lagi mahasisiwa seperti Ulil Abshar Abdallah, Fuad Fanani dan yang lainnya, mereka yang kami sebutkan namanya adalah orang-orang yang dibantah secara ilmiyah akan pendapat-pendapat mereka dalam buku ini.

Selain teologi “Islam Inklusif”, Hermeneutika Abu Zayd dan Arkoun penulis juga membantah secara ilmiyah tentang kerancuan “Hermeneutika Tauhid Wadud” ala Aminah Wadud yang mengembangkan teologi “Hermenutika Feminis” yang kemudian di Indonesia dikembangkan oleh ibu Musdah Mulia seorang aktivis perempuan dari Nahdhatul Ulama dengan jargonnya yang terkenal “Gender Uquality” yaitu kesamaan hak antara lelaki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, kemudian ibu Musada pada akhir tahun 2006 mengkampanyekan bolehnya pernkahan silang antar umat beragama bahwa seorang muslimah boleh menikah dengan lelaki non muslim, demikianlah kerancuan berfikr kaum sekular-liberal yang kemudian kerancuan ini diajarkan dalam dunia akademisi Islam (UIN/IAIN/STAI/PTAI) di Indonesia dimana kampus-kampus ini yang seharusnya mengeluarkan para sarjana-sarjana yang menjunung tinggi kemuliaan al-Qur’an dan Hadis malah menginjak-injak dan merendahkannya bahkan menyamakan kedudukannya dengan teks-teks buatan manusia seperti Al-Kitab milik orang Nashrani sebagaiman yang akan kita temukan dalam buku ini.

Para kaum sofis tidak menghendaki adanya ilmu yang baik dan benar sebab menurut mereka kebenaran mutlak tidak akan pernah dimiliki oleh manusia sebab kebenaran mutlak itu hanya terletak pada yang mutlak dan kebenaran yang diperoleh manusia hanyalah kebenaran nisbi yang dapat dihapus oleh kebenaran yang akan datang setelahnya, kalau demikian dimanakah fungsi hati, akal, dan keyakinan? temukan jawabannya dalam buku ini.

Wal hasil kami dapat katakan bahwa dimana Fir’aun bertengger dan bermukim disana ada Musa yang siap mematahkan argumennya, dimana ada Masih ad-Dajjal disana Isa al-Masih yang siap membunuhnya, dimana ada Fazhlurrahman disana ada Nuqaib al-Attas yang siap mematahkan pemikirannya, dimana Nashr Hamid Abu Zaid disana ada Wan Mohd Nor Wan Daud yang siap melawan seluruh rumusannya, dimana ada Harun Nasuton dan Nurkholis Madjid disana ada Prof. Rasjidy yang siap meluruskan, mematahkan dan mementalkan seluruh argumen pemikiran kopian dari orientalis tentang Islam yang nyeleneh dari mereka.

Buku yang ditulis oleh seorang kandididat Doktor di bidang pemikiran dan peradaban Islam pada International Institute of Islamic Though and Civilzation-Islamic Universuty Malaysia (ISTAC-IIUM) ini sangat bermanfaat bagi para dosen dan mahasiswa muslim di UIN/IAIN/STAI/PTAI utamanya bagi mereka yang mengambil bidang studi program Tafsir dan hadis sebagai bahan perbandingan secara kritis dan adil, sebab didalamnya kita akan menemukan begitu banyak literatur menyangkut tentang metodologi studi Islam kontemporer disamping itu manfaat yang kita dapatkan tidak hanya terbatas pada inti permaslahan yang terdapat dalam setiap bab dan sub judulnya saja bahkan kita tidak akan merasa puas jika melewatkan catatan kaki pada setiap halamannya karena kekayaan informasi dan manfaat yang terkandung didalamnya.

Penulis buku adalah seorang intelektual muda yang sangat aktif dan produktif dalam mencermati perkembangan pemikiran Islam di dunia utamanya di Indonesia, beliau yang lahir pada tahun 1965 ini merupakan salah seorang ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), beliau juga aktiv sebagai wakil ketua Komisis Kerukunan Umat Beragama MUI, sebagai pengurus majlis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, beliau juga adalah anggota Dewan Direktur pada Institut for Study of Islamic Though Civilization (INSIST). Beliau sangat produktif dalam melawan seluruh bentuk ketidak adilan ilmiyah dalam bentuk tulisan diantara karya-karya beliau yang telah diterbitkan adalah : Penyesatan Opini (Jakarta : GIP,2002), Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (Jakarta : GIP, 2002), Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam (Jakarta : GIP, 2004), dan Wajah Peradaban Barat : dari Hegemoni Kriten ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta : GIP, 2005).

h1

Kajian Al Qur’an dan Tafsir Al Qur’an

7 Februari 2009

11 Januari, 2008 in Islamic Though

Kini, kajian Islam ala orientalis sudah mulai berkembang di dunia Islam, termasuk di Indonesia, dan setiap tahun, ribuan sarjana Muslim belajar tentang Islam kepada kaum Yahudi-Kristen. Bukan hanya itu, studi Islam ala orientalis, juga sudah diadopsi di kampus-kampus berlabel Islam. Sebagai contoh, dalam studi Al Qur’an, kini dikembangkan ajaran kritis terhadap Al Qur’an yang mengadopsi tradisi Bibel. Berbagai buku, tesis, skripsi, dan jurnal diterbitkan mengkritik otentisitas dan kesucian Al Qur’an. Bahkan sudah ada dosen IAIN Surabaya yang secara terang-terangan menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri di hadapan para mahasiswanya, karena menganggap Al Qur’an adalah produk budaya dan posisinua sama dengan rumput.
Seperti dilaporkan Majalah Gatra edisi 7 Juni 2006, pada 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan posisi Al Qur’an sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi Al Qur’an tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. “Al Qur’an dipandang sacral secara substansi, tapi tulisannya tidak sacral”, katanya setengah berteriak, dengan mata yang sedikit membelalak.
Wacana dekonstruksi konsep wahyu dan tafsir al Qur’an merupakan wacana yang berkembang pesat di Indonesia saat ini. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari Scholl of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testament”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadap Teks Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).
Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” Al Qur’an dan mengarahkan hal yang sama terhadap Al Qur’an. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan Guru Besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap Al Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scripture) (Lihat artikelnya dalam Bulletin of the John Rylands Library, di Jurnal Al Insan, No 1/Januari 2005).
Hampir satu setengah abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al Qur’an bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al Qur’an adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralism agama, maka semua agama harus didudukan pada posisi yang sejajar,sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.
Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lenyap jika tidak menyentuh aspek kesucian al Qur’an. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinkan kaum Muslim, bahwa al Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti agama lain. Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Qur’an di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al Qur’an”, yang isinya menyatakan:
“ Uraian dalam paragraph-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Al Qur’an, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. karena itu, tulisan ini juga akan mengangas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Al Qur’an” (lihat makalah Taufik Adnan Kamal berjudul “Edisi Kritis Al Qur’an”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia”. Jakarta: JIL, 2002. Hal 78).
Taufik berusaha menyakinkan, bahwa al Qur’an saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen ini pun menulis sebuah buku serius berjudul “Rekonstruksi Sejarah Al Qur’an” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani (Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al Qur’an, Yogyakarta: FKBA, 2001). Penulis buku ini mencoba menyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan.
Ada lagi sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), ditulis oleh Aksin Wijaya, yang secara terang-terangan juga menghujat Kitab Suci Al Qur’an. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doctor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al Qur’an seperti kata-kata berikut ini:
“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dahulu menempatkan Mushaf Utsaimin itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sacral dan absolute, melainkan profane dan fleksibel. Yang sacral dan absolute hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.”(Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004. Hal 123).
Dosen di Universitas Paramadina, dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang Al Qur’an:
“Sebagian besar kaum Muslim menyakini bahwa Al Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga menyakini bahwa Al Qur’an, yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formulisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Al Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit) dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.” (Luthfi Assyaukanie, Merenungkan Sejarah Alqur’an”, dalam Abdul Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005. Hal 1).
Jadi, di berbagai penerbitan, wacana yang menyerang Al Qur’an telah dilakukan dan secara terang-terangan menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap Al Qur’an. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel-artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, edisi 23 Th XI 2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang Al Qur’an dan sahabat Nabi Muhammad Saw:
“ Dalam studi kritik Al Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Al Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkontruks Al Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figure yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca Muhammad, yang paling paling mencelakakan adalah pembukuan Al Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh khalifah Utsman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Utsman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Utsman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab (dan Islam). Hegemoni ini tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama, dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.” (Dalam Jurnal Justisia, Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai artikel dengan judul-judul yang melecehkan al Qur’an dan menghina para sahabat Nabi Muhammad saw, seperti “Qur’an ‘Perangkap’ Bangsa Quraisy” oleh M. Khalidul Adib Ach, “Pembukuan Qur’an oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah” oleh Tedi Kholiludin, “Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad”, oleh Iman Fadhilah el-Barbazzy Erha, dan sebagainya).
Penyerangan terhadap Al Qur’an di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal yang baru dalam masyarakat Muslim Indonesia. Dulu, berates-ratus tahun, wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suara-suara yang menghujat al Qur’an justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam, yang kebanyakan hanya menjiplak dan mengulang-ulang pendapat lama yang beratus-ratus tahun disuarakan para orientalis. Tentu, masalah ini tidak bisa dianggap sepele dan perlu dijawab secara akademis dan ilmiah.
Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al Qur’an juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al Qur’an dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal dengan teorinya “Al Qur’an merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Buku Arkoun, Rethinking Islam, bahkan dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah “Kajian Orientalisme terhadap Al Qur’an dan Hadist” di program Tafsir Hadist Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Tujuan mata kuliah ini adalah agar “Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap Al Qur’an dan Hadist.” Dalam bukunya tersebut, Arkoun secara terang-terangan menyesalkan, mengapa para cendikiawan Muslim tidak mau mengikuti orientalis Yahudi dan Kristen yang telah melakukan kritik terhadap Bibel. Ia menulis dalam bukunya: “Sayang sekali bahwa kritik filosofis terhadap teks suci-yang telah diterapkan pada Bible berbahasa Hebrew dan Perjanjian Baru tetapi tidak menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negative bagi konsep wahyu-terus ditolak oleh pendapat ilmiah umat Islam. Karya-karya aliran Jerman terus diabaikan, dan ilmuan-ilmuan Muslim tidak berani melakukan penelitian semacam itu walaupun penelitian ini akan memperkuat fondasi ilmiah sejarah mushaf dan teologi wahyu. Alasan yang melatarbelakangi perlawanan ini bersifat politik dan psikologis.” Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir penganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadist UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstuktif terhadap Al Qur’an dan syari’at Islam (Paparan lebih jauh tentang masalah liberalisasi al Qur’an di Perguruan Tinggi Islam, lihat, Adian Husaini, Hegemoni Kristen dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: GIP, 2006).
Sebagai contoh, kini dikembangkan satu metode historis kontekstual dalam penafsiran al Qur’an yang berdampak serius pada syariat Islam. Prof. Siti Musdah Mulia, seorang tokoh feminis, misalnya, melakukan perombakan terhadap hukum perkawinan dengan metode kontekstualisasi. Ia menulis:
“Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60:10, pen), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya.” (Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Bandung: Mizan, 2005. Hal 63).

h1

Corak Tafsir al-Qur’an di Indonesia

7 Februari 2009

PENDAHULUAN
Latar Belakang dan Rumusan Masalah
Al Qur’an yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu. Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al Qur’an.
Perkembangan penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa al Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat dan pesat. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu proses pemahaman al Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran al Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk membahas berbagai kajian tafsir yang ada di Indonesia mulai dari abad klasik sampai dengan moderen. Pembatasan waktu ini penulis ambil dari periodesasi yang pernah dibuat oleh Dr. Nasiruddin Baidan dalam karyanya Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia yaitu dari abad Klasik sampai dengan Abad Moderen.
Disisi lain penulis juga menggunakan bentuk periodesasi yang dibuat oleh Federspiel dalam karyanya tentang kemunculan dan perkembangan tafsir al Qur’an di Indonesia yaitu awal abad XX sampai dengan tahun 1960-an, 1960 – 1970-an dan tahun 1970an sampai dengan sekarang dimana periodesasi yang kedua ini tidak luput dari kritikan, namun penulis memakai kedua bentuk tersebut di atas dalam rangka mempermudah sebab sejauh menyangkut periodesasi perkembangan penafsiran di Indonesia, pembagian Nasiruddin Baidan dan Federspiel inilah yang cukup mewakili.
Makalah ini mencoba untuk membahas corak tafsir yang ada di Indonesia mulai dari Abad Klasik sampai dengan Moderen. Hanya saja karena banyaknya karya-karya tafsir yang ada di Indonesia, maka makalah ini akan menjelaskan secara lebih rinci pada tafsir lengkap 30 juz, sedangkan karya tafsir yang bersifat tematis, maupun yang hanya menfokuskan pada surat-surat tertentu akan penulis ulas secara lebih singkat sehingga diharapkan kajian ini akan mencakup keseluruhan karya tafsir yang ada di Indonesia secara komprehensif.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Corak Tafsir
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai beberapa makna. Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna -warna ) pada kain( tenunan, anyaman dsb), Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti sifat( faham, macam, bentuk) tertentu . Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab yang berarti warana. Istilah ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun.Berikut potongan ulasan beliau (وعن ألوان التفسير فى هذا العصر الحديث….) (Tentang corak-corak penafsiran di abad modern ini).
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir.
Kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut . Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan pada periode abad pertengahan.
Abad pertengahan, boleh dikatakan sangat didominasi oleh “kepentingan”(intrest) spesialisasi yang menjadi basis intelektual mufassir, karena keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan keragaman disiplin ilmu yang berkembang saat itu. Ini terjadi karena minat pertama dan utama para mufassir saat itu sebelum ia bertindak menafsirkan al-Qur’an adalah kepentingannya.
Disisi lain ilmu yang berkembang di tubuh umat Islam selama periode abad pertengahan yang bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa, sastra dan filsafat. Karena banyaknya orang yang berminat besar dalam studi setiap disiplin ilmu itu yang menggunakan basis pengetahuanya sebagai kerangka dalam memahami al-Qur’an, bahkan beberapa di antaranya secara sengaja mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an, maka muncullah kemudian tafsir fiqhy, tafsir I’tiqady, tafsir sufy, tafsir ilmy dan tafsir falsify. Dan lain-lain.
Kemudian kita beralih ke kata tafsir, kata tafsir merupakan Mashdar dari kata يُفَسِّرُ – تَفْسِيْر- فَسَّرَ yang dalam kamus Al-Munawweir bermakna Tafsiran, interpretsi, penjelasan, komentar, dan keterangan. arti tafsir itu sendiri menurut bahasa adalah التفسيير هو الإيضاح والتبيين (Tafsir menurut bahasa adalah menjelaskan, menerangkan). Sedangkan dalam kitab Kitab Lisaanul Arab di jelaskan bahwa Kata tafsir terambil dari kata الفسر yang berarti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Sedangkan kata at-Tafsir juga bermakna menyingkap maksud sesuatu yang sulit.
Adapun tafsir menurut Istilah adalah:
التفسير علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه.
Terjemahannya: Tafsir adalah Ilmu untuk memahami kitabullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum –hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir . kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan pada periode abad pertengahan.
Adapun corak-corak tafsir yang berkembang adalah sebagai berikut :
1. Corak Sastra Bahasa; munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini.
2. Corak Filsafat dan Teologi; corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
3. Corak Penafsiran Ilmiah; corak ini muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
4. Corak Fikih; corak ini muncul akibat perkembangan ilmu fikih dan terbentuknya mahzab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
5. Corak Tasawuf; corak ini muncul akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
6. Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan; corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti namun enak didengar.
B. Corak Tafsir Al-Qur’an di Indonesia
Pada pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa secara umum terdapat enam corak yang digunakan dalam melakukan penafsiran al-Qur’an adapun di Indonesia berdasarkan hasil pemetaan Islah Gusmian, adalah bahwa corak atau nuansa karya-karya tafsir yang ada di Indonesia dari periode ke periode ada lima yaitu; Pertama: Corak Sastra Bahsa, Kedua: Corak Sosial Kemasyarakatan, Ketiga: Corak Teologis, Keempat: Corak Sufistik dan Kelima: Corak Psikologis. Dari keenam dan atau kelima corak-corak tafsir tersebut akan diuraikan dalam bentuk periodesasi perekmbangan penafsiran al-Qur’an di Indonesia.
1. Corak Tafsir al-Qur’an Pada Periode Klasik (VIII-XV M)
Pengkajian al-Qur’an di di Indonesia telah ada sejak masuknya Islam di Indonesia yang dibawa oleh sekolompok pedagang Arab dan Gujarat India. Adapun bentuk-bentuk pendekatan dalam melakukan penyebaran Islam di Indonesia lebih di dominasi oleh pendekatan sufisme, melihat agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia – sebelum datangnya Islam – adalah agama Hindu dan budha.
Pengkajian terhadap al-Qur’an pada masa ini masih belum menemukan bentuknya yang baku, meskipun pada masa ini kitab-kitab tafsir karya para ulama dunia telah ada, namun untuk skala Indonesia, penafsiran al-Qur’an masih berada pada wilayah penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ferbal-praktis dan penjelasan-penjelasan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman pembawa ajaran Islam baik dari Arab maupun Gujarat India ke Nusantara.
Melihat dari kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa ini penafsiran terhadap al-Qur’an masih dalam bentuk penafsiran umum dan penjelasan terhadap al-Qur’an untuk kebutuhan dakwah Islamiyah. Sehingga untuk melacak karya-karya yang muncul pada masa ini Indonesia sangat susah disebabkan oleh beberap faktor diantaranya, pertama; bahwa tulisan pada masa itu belum begitu penting bagi masyarakat Indonesia, kedua; bahwa masyarakat Indonesia pada masa itu lebih memilih penjelasan-penjelasan praktis terhadap isi dan kandungan al-Qur’an ketimbang membaca karya-karya yang pernah ada di negeri Arab, ketiga; bahwa masayarakat yang telah memeluk Islam dari kalangan pribumi masih membutuhkan waktu untuk belajar membaca huruf-huruf Arab yang secara kultural huruf-huruf tersebut, masih tergolong asing dikalangan masyarakat Indonesia.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa pengaruh Arab terhadap huruf-huruf di Indonesia sangat besar, sehingga huruf-huruf yang digunakan dalam bahasa melayu pada awalnya adalah huruf-huruf Arab.
Dari analisis di atas menunjukkan bahwa pada peride ini penfsiran al-Qur’an masih bersifat umum dan tidak mengacu pada satu corak tertentu disebabkan karena kondisi dan kebutuhan masyarakat pada periode tersebut.
2. Corak Tafsir al-Qur’an Pada Periode Pertengahan (XVI-XVIII M)
Pada periode sebelumnya (periode klasik abad VII-XV M) disebutkan bahwa penafsiran belum menampakkan bentuk tertentu yang mengacu pada metode al-Ma’sur atau al-Ra’yu dan tidak pula menampakkan corak tertendu baik sastra, fiqhi, filsaafat dan teologi, tasawuf, ilmi, sosial kemasyarakatan maupun psikologi. Akan tetapi masih bersifat umum dan menggunakan seluruh corak penafsiran serta masih mengandalkan ingatan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Pada periode ini sudah mulai berkenalan dengan kitab-kitab tafsir yang dibawa atau didatangakan dari Timur Tengah, seperti Kitab Tafsir Jalalain. Kitab-kitab tersebut dibacakan kepada murid-murid, lalu diterjemahkan kedalam bahasa murid (Melayu, Jawa, dan sebagainya). Dalam proses tafsir seperti ini, para guru masih terikat dengan corak tafsir yang ada dalam teks kitab tafsir al-Jalalain dengan metode tafsir Ijmaly , artinya bahwa pada periode ini belum ada inisiatif pengembangan pemahaman secara analitis dan kritis terhadap suatu ayat kecuali sebatas pemahaman tekstual kitab tafsir tertentu dalam hal ini kitab Tafsir al-Jalalain. Hal ini juga menunjukkan bahwa tafsi al-Jalalain merupakan tafsir terpopuler pada masa tersebut.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an pada abad ini berkembang dengan baik dengan terlacaknya beberapa karya ulama nusantara dalam bidang tafsir, diantara karya-karaya tersebut adalah :
a) Terjemahan Al-Qur’an Karya Hamzah Fansury
Hamzah Fansury hidup antara tahun 1550-1599 karya beliau lebih kepada penerjemahan terhadap al-Qur’an ayat per-ayat dengan menggunakan komentar-komentar ringkas tentang kandungan ayat al-Qur’an yang disusun dalam bahasa melayu dengan menyelipkan beberapa syair yang sarat dengan makna-makna yang dibubuhi pemahaman tasawuf.
Corak penafsiran al-Qur’an yang disusun oleh Hamzah Fansury adalah bercorak Tasawwuf dimana beliau melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam bentuk penafsiran sufistik dalam tradisi Ibnu ‘Arabi, beliau menyatukan ke dalam syair-syair dan mencampur bahasa arab dan melayu dengan keliahian yang cukup mengagumkan.
Salah satu contoh bait syair dari salah satu sajak empat barisnya yang merupakan interpretasi terhadap Q.S al-Ikhlash (112):
laut itulah yang bernama ahad
terlalu lengkap pada asy’us-samad
olehnya itulah lam yalid wa lam yulad
wa lam yakun lahu kufu’an ahad
contoh bait syair yang di kutip oleh A.H. Jhons di atas, menunjukkan bahwa corak yang mendominasi penafsiran Hamzah Fansury adalah corak tasawwuf yang terungkapkan dalam bentuk bait-bait syair, sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi terdahulu dalam mengekspresikan pemahaman tasawwufnya seperti Ibnu ‘Araby dan selainnya.
b) Tafsir Surat al-Kahfi
Sebagaimana keterangan Anthony H. Jhons bahwa karya tersebut merupkan manuskrip tertanggal tahun 1620 yang terdiri dari terjemahan melayu dan tafsir Q.S al-Kahfi (18) dengan gaya bahasa yang fasih dan idiomatis. Ada yang mengidentifikasi bahwa karya tersebut kemungkinan adalah karya hamzah al-Fansury, namun ternyata tidak sebab hamzah al-Fansury wafat pada tahun 1599 sementara karya ini tertanggal 1620, pada sisi yang lain karya ini berbeda dengan karya dan corak yang digunakan oleh Hamzah al-Fansury, dimana karya ini telah menggunakan metode penafsiran yang baik, dan dapat dipastikan pula bahwa karya ini merupakan terjemahan dari tafsir al-Khazin surah al-Kahfi.
Adapun corak tafsir yang terdapat pada manuskrip yang tidak teridentifikasi penulisnya ini adalah corak tasawwuf, hanya saja mazhab tasawwuf yang dugunakan dalam menafsirkan al-Qur’an adalah mazhab yang berbeda dari mazhab yang dianut oleh Hamzah Fansury. Selain itu metode penyajiannya termasuk kajian al-Qur’an yang telah terbangun dengan baik.
c) Karya Syamsuddin as-Sumatrany
Adapun karya-karya Syamsuddin as-Sumatrany tidak ada yang bertahan termasuk karyanya dalam bidang tafsir al-Qur’an. Namun meskipun demikian dapat diidentifikasi bahwa karya-karaya beliau bertaburan ayat-ayat dan frasa dari al-Qur’an. Kebanyakan dariayat-ayat tersebut dibubuhi dengan pembahasan tasawuf dan diterjemahkan ke dalam bahasa melayu dengan makna tasawwuf pula.
Jadi dapat dikatakan bahwa corak penafsiran yang terdapat dalam karya-karya Syamsuddin adalah bercorak tasawwuf dengan menggunakan mazhab Ibnu ‘Araby, sebagaimana yang dianut oleh Hamzah Fansury.
d) Nuruddin ar-Raniry
Adapun karya-karya Nuruddin ar-Raniry semuanya musnah terbakar termasuk di dalamnya adalah karya tafsir beliau, hal ini lebih disebabkan karena beliau sangat bersemangat dalam menyerang pemahaman mistis tasawwuf Hamzah dan Syamsuddin, sehingga seluruh karyanya dibakar dan para pengikutnya banyak yang dieksekusi.
e) Turjuman al-Mustafid Karya Abdurrauf Sinkel
Abdul Rauf Singkel hidup antara 1615-1690 M, dimana beliau memiliki sebuah karya yang diberi judul Turjuman al-Mustafid. ada beberapa diantara peneliti yang menyebutkan bahwa karya ini merupakan terjemahan dari karya al-Baidhawy yang berjudul Anwaru at-Tanzil wa Asrar at-Takwil akn tetapi setelah dilakukan penelitian kembali ternyata karya tersebut merupakan karya individu As-Sinkily, yang di dalamnya banyak mengungkapkan atau mengutip dari tiga karya tafsir yaitu Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhawy dan Tafsir al-Khazin.
Corak penafsiran yang disuguhkan oleh Abdurrauf tidak jauh dari corak penafsiran kitab al-Jalalain, dimana beliau secara diam-diam mengagumi karya Jalauddin al-Mahalli dan as-Suyuthy ini, selain itu karya Abdurrauf ini jauh dari corak tasawwuf, beliau dominan pada penterjemahan ayat-ayat per-ayat dalam bahasa melayu dengan menjelaskan asbab Nuzul dan Qiraat yang diperolehnya dari kitab al-Jalalain. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya Abdurrauf ini merupakan batu loncatan pertama dalam bidang tafsir al-Qur’an di Indonesia yang dapat membantu masyarakat dalam memahami arti-arti secara harfiyah ayat-ayat al-Qur’an dalam bahasa lokal.
Analisis atas karay Abdurrauf tersebut di atas menunjukkan bahwa kitab Turjumanul Mustafid lebih dapat kita katakan adalah karya tafsir yang lebih mengutamakan faktor kebahasaan dari setiap ayat secara global untuk diselaraskan dengan kearifan lokal sehingga dapat memberikan kemudahan dalam pengajaran al-Qur’an.
Adapun tesis yang menunjukkan bahwa karaya Abdurrauf bercorak umum terbantahkan mengingat bahwa karya ini bersinergi dengan karya al-Jalalain, al-Kahzin, dan al-Baidhawy.
Sebagai sebuah catatan bahwa karya Abdurrauf ini merupakan karya tafsir pertama dalam bahasa lokal yang menguraikan ayat-ayat al-Qur’an secara lengkap 30 juz dengan menggunakan metode Ijmaly.
3. Corak Tafsir al-Qur’an Pada Periode Pra-Moderen (XIX M)
Pada periode ini perkembangan tafsir al-Qur’an cenderung melemah sehingga bukan berarti tidak meningkat, hanya saja dari segi penulisan boleh dikatakan bahwa karya tafsir pada peride ini tidak ada.
Jika pada periode sebelumnya –peride pertengahan- tulisan-tulisan dan karya-karya dalam bidang tafsir telah ada bahkan telah diterbitkan serta mendapatkan coraknya tersendiri, namun pada periode ini tidak ditemukan sepucuk karya pun dalam bidang tafsir –selain karya Nawawi al-Banteni yang secara sosio historis karyanya ditulis di Mekkah dan diterbitkan di sana-, yang ada hanyalah pengkajian al-Qur’an lewat majlis-majlis yang ada dirumah-rumah atau di suarau-surau yang sifatnya terbatas.
Secara logika sebenarnya kenyataan ini tidak dapat di cerna sebab pada abad sebelumnya terdapat karya yang bersifat monumental dalam bidang tafsir seperti karaya Abdurrauf Singkel namun pada periode ini tidak terdapat satu pun karya yang dapat dikatakan lebih komprehensif dan lebih kritis dari karya-karya yang sebelumnya.
Kenyataan ini sebenarnya lebih diakibatkan oleh faktor keadaan yang terjadi pada masa ini, dimana pada peride ini Belanda berhasil mengencangkan cengkramannya di berbagai tempat di Indonesia, bahkan tidak sedikit diantara para ulama yang ada pada masa tersebut berada diantara dua bentuk aktifitas disisi lain mereka harus mengajarkan Islam kepada para generasi muda harapan bangsa, dan pada sisi yang lain pula mereka harus berjuang mempertahankan harkat dan martabat Negara agar tidak dicaplok oleh kekuasaan Belanda.
Kesibukan inilah yang menyebabkan para ulama yang ada pada masa pra-modern tidak mampu menorehkan pemahamn mereka terhadap al-Qur’an dengan tinta di atas kertas, sebab mereka harus berhadapan dengan kekuatan Belanda yang secara structural telah mengasai Indonesia yang pemerintahannya pada masa itu disebut dengan masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa corak penafsiran al-Qur’an padaperiode ini kembali menggunakan corak umum sebagaimana yang terjadi pada masa klasik.
4. Corak Tafsir al-Qur’an Pada Periode Moderen (XX-XI M)
Corak tafsir al-Qur’an di Indonesia pada periode ini dapat dibagi ke dalam dua jenis karya yaitu; 1). Karya tafsir yang muncul pada era tahun 1900-1950, 2) Karya tafsir yang ditulis pada awal tahun 1951-1981.
a. Corak karya tafsir pada era tahun 1900-1950
Terdapat tiga karya tafsir yang cukup representatif mewakili karya-karya tafsir yang lahir pada era tahun 1900 ketiga adalah:
1) Al-Furqan karya Ahmad Hassan
2) Tafsir al-Qur’an Bahasa Indonesia karya Mahmud Azis.
3) Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus
Ketiga karya di atas memiliki beberapa persamaan yang sangat menonjol diantaranya adalah :
a) Defenisi istilah-istilah yang terdapat di dalamal-Qur’an dan masalah-masalah yang ditemukan dalam penterjemahan. Maksudnya bahwa ketiga penulis tersebut merasa perlu untuk menjelaskan teknik penerjemahan dan beberapa asumsinya.
b) Defenisi tentang konsep-konsep Islam. Ketiga karya tersebut memberikan informasi tentang konsep-konsep dasar Islam seperti keyakinan dan syariat yang diungkapkan di dalam al-Qur’an.
c) Menjelaskan garis-garis besar kandungan al-Qur’an. Hal ini dapat ditemukan dalam karya Hamidy dan Mahmud Yunus, dimana Hamidy memnjelaskan garis-garis besar kandungan ayat al-Qur’an dalam 16 halaman, sementara Mahmud Yunus membuat garis-garis besar kandungan al-Qur’an dalam 30halaman.
d) Catatan kaki, dalam catatan kaki tersebut, ketiganya berusaha untuk menjelaskan kata atau kalimat tertentu dan untuk memperjelas kembali makna teks agar lebih memperjelas maksudnya.
e) Mengungkapkan sejarah al-Qur’an, dimana dua diantara ketiga karya tersebut menguraikan tentang proses turunnya al-Qur’an, pengumpulan dan pemeliharaannya.
f) Menyebutkan indeks dan daftar kata yang disusun secra alfabet dengan tujuan agar pembaca mendapatkan keterangan akan suatu kata atau kalimat dalam al-Qur’an.
Jika kita memperhatikan bentuk kesamaan dari tiga karya di atas, dapat dikatakan bahwa corak tafsir pada masa ini adalah bersifat umum, dimana tidak terdapat diantara ketiga karya tersebut di atas yang mengacu pada satu corak tertentu atau tidak ada corak yang dominan yang menjadi ciri bagi masing-masing karya. Selain dari ketiga karya di atas masih terdapat tiga karya lainnya yang berada pada posisi yang sama yaitu; 1). Qur’an Indonesia (1932) yang disusun oleh Syarikat Kweek School Muhammadiyah, 2). Tasir Hibarna (1934) karya Iskandar Idris, 3). Tafsir Syamsiyah karya K.H Sanusi.
b. Corak karya tafsir pada era tahun 1951-1980
Pada era ini karya-karya tafsir diindonesia mulai menampakkan perkembangan yang lebih baik dari sebelumnya dimana bentuk-bentuk penafsiran terhadap teks-teks ilahi yang tertuang di dalam al-Qur’an lebih merespon keadaan zaman, diantara karya-karya yang muncul pada era ini adalah :
1) Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh Departemen Agama R.I
2) Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh Yayasan Bahrul Ulum
3) Tafsir Qur’an karya Zainuddin Hamidy CS.
4) Tafsir Sinar karya Malik Ahmad
5) Tafsir al-Bayan karya T.M Hasbi Ash-Shiddiqy
6) Tafsir An-Nur karya T.M Hasbi Ash-Shiddiqy
7) Al-Qur’an Bacaan Mulia karaya H.B Jassin
8) Tafsir Azhar karya Hamka
Dari delapan karya tafsir yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat corak yang mendominasi karya-karya tersebut di atas yaitu :
1) Corak umum
Karya tafsir yang bercorak umum dalam arti kata bahwa karya-karya tersebut tidak ada corak yang dominan pada karya tesebut. Karya-karya yang bercorak umum tersebut adalah ; i. Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh Departemen Agama R.I, ii. Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh Yayasan Bahrul Ulum, iii. Tafsir Qur’an karya Zainuddin Hamidy CS., iv. Tafsir Sinar karya Malik Ahmad, v. Tafsir al-Bayan karya T.M Hasbi Ash-Shiddiqy.
Kelima karya tersebut di atas bercorak umum dimana tidak terdapat cirikhas atau domain tertentu diantar corak-corak tafsir yang ada, akan tetapi karya tersebut tidak lebih dari sekedar terjemahan dan penjelasan akan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan. Meskipun secara parsial karya T.M Hasbi dalam al-Bayan menjelaskan beberapa hukum syari’at yang memiliki hubungan dengan ayat, tetapi bentuk penjelasannya tidak mendominasi isi karyanya tersebut.
2) Corak Fiqhi
Adapun diantara karya-karya yang tersebut di atas yang memiliki corak fiqhi atau dominasi penjelasan di dalamnya di arahkan pada penjelasan fiqhi adalah Tafsir An-Nur karya T.M Hasbi, dimana hampir pada setiap ayat yang dijelaskan dihubungkan pada masalah-masalah hukum yang terkait dengan ayat. Adapun bentuk perbedaan antara corak Fiqhi yang terdapat dalam tafsir An-Nur dengan kitab tafsir bercorak fiqhi lainnya adalah bahwa tafsir an-Nur tidak berafiliasi pada mazhab apapun.
3) Corak Adabi Ijtima’i
Diantara karya tafsir yang disebutkan di atas memiliki corak adabi ijtima’i adalah karya Hamka yang berjudul Tafsir Azhar , dimana dalam hampir disetiap ayat yang ditafsirkan oleh Hamka dalam karyanya tersebut beliau menghubungkannya dengan konteks sosial kemasyarakatan, baik masyarakat kelas atas seperti raja, masyarakat biasa, maupun individu, semua hal ini tergambar dalam karya Hamka tersebut.
Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa karaya Hamka dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an adalah bercorak sosial kemasyarakatan (Adabi Ijtima’i) dengan pendekatan tasawuf.
4) Corak Sastra
Adapun karya yang mewakili corak sasatra dari karya-karya yang tersebut di atas adalah karya H.B Jassin yang berjudul Al-Qur’an bacaan Mulia, Karya ini lebih merupakan upaya penerjemahan al Qur’an ke dalam Bahasa Indonesia dengan bahasa puitis. Hal ini sesuai dengan latar belakang HB Jassin yang merupakan seorang sasterawan. Latar belakang penerjemahan al Qur’an dengan bahasa puitis adalah karena al Qur’an memiliki kandungan sastra yang tiada tara.

h1

Tafsir di Indonesia; Dari Klasik Hingga Moderen

7 Februari 2009

Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Masa Klasik
Pengkajian al-Qur’an di di Indonesia telah ada sejak masuknya Islam di Indonesia yang dibawa oleh sekolompok pedagang Arab dan Gujarat India. Adapun bentuk-bentuk pendekatan dalam melakukan penyebaran Islam di Indonesia lebih di dominasi oleh pendekatan sufisme, melihat agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia – sebelum datangnya Islam – adalah agama Hindu dan budha.
Pengkajian terhadap al-Qur’an pada masa ini masih belum menemukan bentuknya yang baku, meskipun pada masa ini kitab-kitab tafsir karya para ulama dunia telah ada, namun untuk skala Indonesia, penafsiran al-Qur’an masih berada pada wilayah penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ferbal-praktis dan penjelasan-penjelasan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman pembawa ajaran Islam dari Arab ke Nusantara.
Melihat dari kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa ini penafsiran terhadap al-Qur’an masih dalam bentuk penafsiran umum dan penjelasan terhadap al-Qur’an untuk kebutuhan dakwah Islamiyah. Sehingga untuk melacak karya-karya yang muncul pada masa ini Indonesia sangat susah disebabkan oleh beberap faktor diantaranya, pertama; bahwa tulisan pada masa itu belum begitu penting bagi masyarakat Indonesia, kedua; bahwa masyarakat Indonesia pada masa itu lebih memilih penjelasan-penjelasan praktis terhadap isi dan kandungan al-Qur’an ketimbang membaca karya-karya yang pernah ada di negeri Arab, ketiga; bahwa masayarakat yang telah memeluk Islam dari kalangan pribumi masih membutuhkan waktu untuk belajar membaca huruf-huruf Arab yang secara cultural huruf-huruf tersebut, masih tergolong asing dikalangan masyarakat Indonesia.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa pengaruh Arab terhadap huruf-huruf di Indonesia sangat besar, sehingga huruf-huruf yang digunakan dalam bahasa melayu pada awalnya adalah huruf-huruf Arab.
Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Abad Pertengahan
Pada periode sebelumnya (periode klasik abad VII-XV) disebutkan bahwa penafsiran belum menampakkan bentuk tertentu yang mengacu pada al-Ma’sur atau al-Ra’yu karena masih bersifat umum dan masih mengandalkan ingatan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Pada periode ini sudah mulai berkenalan dengan kitab-kitab tafsir yang dibawa atau didatangakan dari Timur Tengah, seperti Kitab Tafsir Jalalain. Kitab-kitab tersebut dibacakan kepada murid-murid, lalu diterjemahkan kedalam bahasa murid (Melayu, Jawa, dan sebagainya). Dalam proses tafsir seperti ini, para guru masih terikat dengan corak tafsir yang ada dalam kitab tafsir, artinya belum ada inisiatif pengembangan pemahaman suatu ayat kecuali sebatas yang mereka pahami dari penafsiran yang sudah diberikan dalam kitab-kitab tafsir tersebut.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an pada abad ini berkembang dengan baik dengan terlacaknya beberapa karya ulama nusantara dalam bidang tafsir, diantara karya-karaya tersebut adalah apa yang ditulis oleh Hamzah Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 karya beliau lebih kepada penerjemahan terhadap al-Qur’an ayat per-ayat dengan menggunakan komentar-komentar ringkas tentang kandungan ayat al-Qur’an yang disusun dalam bahasa melayu dengan menyelipkan beberapa syair yang sarat dengan makna-makna yang dibubuhi pemahaman tasawuf.
Diantara karya yang ada pada masa ini adalah sebuah karya yang penulisnya tidak teridentifikasi yaitu Tafsir Surah al-Kahfi sebagaimana keterangan L. Anthony H. Jhons dalam sebuah artikelnya yang dimuat dalam Melayu online.htm , menyebutkan bahwa karya tersebut manuskrip tersebut tertanggal tahun 1620. Ada yang mengidentifikasi bahwa karya tersebut kemungkinan adalah karya hamzah al-Fansury, namun ternyata tidak sebab hamzah al-Fansury wafat pada tahun 1599 sementara karya ini tertanggal 1620, pada sisi yang lain karya ini berbeda dengan karya dan corak yang digunakan oleh Hamzah al-Fansury, dimana karya ini telah menggunakan metode penafsiran yang baik, dan dapat dipastikan pula bahwa karya ini merupakan terjemahan dari tafsir al-Khazin surah al-Kahfi.
Sejalan dengan metode Hamzah al-Fansuri adalah karya yang disusun oleh Nuruddin ar-Raniry yang merupakan pendatang dari Gujarat India dan masuk ke Aceh dan mendapatkan kedudukan penting pada masa pemerintahan Sulthan Iskandar II hingga tahun 1641, akan tetapi beberapa peneliti menyebutkan, bahwa karyanya dalam bidang tafsir yang juga dibubuhi dengan pemahaman tasawwuf boleh dikatakan hilang sebab banyak karya-karyanya yang dibakar dan pengikutnya banyak yang di eksekusi, sehingga boleh jadi diatara karya-karay ar-Raniry yang terbakar tersebut adalah karya-karya tafsir. Namun ada beberapa peneliti yang menyebutkan bahwa boleh jadi tafsir Surat al-Kahfi tersebut nerupakan karya Nuruddin ar-Raniry.
Kemudian karya Abdul Rauf Singkel (1615-1690) yang diberi judul Turjumanul Mustafid ada beberapa diantara peneliti yang menyebutkan bahwa karya ini merupakan terjemahan dari karya al-Baidhawy yang berjudul Anwaru at-Tanzil wa Asrar at-Takwil akn tetapi setelah dilakukan penelitian kembali ternyata karya tersebut merupakan karya individu As-Sinkily, yang di dalamnya banyak mengungkapkan atau mengutip dari tiga karya tafsir yaitu Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhawy dan Tafsir al-Khazin.
Sebagai sebuah catatan bahwa perkembangan tafsir pada abad ini tidak terlepas dari pengaruh popularitas kitab Tafsir al-Jalalain yang merupakan buah karya gabungan dari Imam Jalauddin al-Mahhaly dan Jalaluddin As-Syuthy.
Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Abad Pra-Moderen
Pada periode ini perkembangan tafsir al-Qur’an cenderung melemah sehingga bukan berarti tidak meningkat, hanya saja dari segi penulisan boleh dikatakan bahwa karya tafsir pada peride ini tidak ada.
Jika pada periode sebelumnya –peride pertengahan- tulisan-tulisan dan karya-karya dalam bidang tafsir telah ada bahkan telah dterbitkan, namun pada periode ini tidak ditemukan sepucuk karya pun dalam bidang tafsir, yang ada hanyalah pengkajian al-Qur’an lewat majlis-majlis yang ada dirumah-rumah atau di suarau-surau yang sifatnya terbatas.
Secara logika sebenarnya kenyataan ini tidak dapat di cerna sebab pada abad sebelumnya terdapat karya yang bersifat monumental dalam bidang tafsir seperti karaya Abdurrauf Singkel namun pada periode ini tidak terdapat satu pun karya yang dapat dikatakan lebih ko,prehensif dan lebih kritis dari karya-karya yang sebelumnya.
Kenyataan ini sebenarnya lebih diakibatkan oleh faktor keadaan yang terjadi pada masa ini, dimana pada peride ini Belanda berhasil mengencangkan cengkramannya di berbagai tempat di Indonesia, bahkan tidak sedikit diantara para ulama yang ada pada masa tersebut berada diantara dua bentuk aktifitas disisi lain mereka harus mengajarkan Islam kepada para generasi muda harapan bangsa, dan pada sisi yang lain pula mereka harus berjuang mempertahankan harkat dan martabat Negara agar tidak dicaplok oleh kekuasaan Belanda.
Kesibukan inilah yang menyebabkan para ulama yang ada pada masa pra-modern tidak mampu menorehkan pemahamn mereka terhadap al-Qur’an dengan tinta di atas kertas, sebab mereka harus berhadapan dengan kekuatan Belanda yang secara structural telah mengasai Indonesia yang pemerintahannya pada masa itu disebut dengan masa pemerintahan Hindia-Belanda.

Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Abad Moderen
Periode ini dapat dibagi ke dalam empat bagian, yaitu; pertama, periode 1900-1950 M, kedua, periode 1951-1980, ketiga, 1981-1990 dan keempat 1990-sekarang.
Periode 1900-1950 M
Kemajuan tafsir pada paruh pertama ini tidak bisa dilepaskan dari geraka pembaruan yang dilakukan oleh ulama-ulama Reformis di Timur Tengah semisal Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh. Pemikiran-pemiran mereka mengilhami ulama Nusantara untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi yang diharapkan dapat menyatukan langkah dan menggalang kekompakan di antara pengikut mereka dalam rangka mencapai tuujuan.
Akan tetapi kajian al Qur’an yang dilakukan oleh ulama-ulama tersebut masih terbatas pada beberapa kitab tertentu yang sama dengan periode sebelumnya sekalipun sebenarnya sudah mulai ada upaya membahas kitab-kitab tafsir yang lain. Demikian pula dengan metode dan tempat pengkajiannya sudah mulai lebih maju karena bukan lagi terbatas di surau atau pesantren saja namun sudah masuk dalam lingkungan sekolah dan kelas sehingga pengajarannya sudah mulai sistematis.
Kaitannya dengan produktivitas ulama, sekalipun masih ada bias periode pertengahan (penjajahan Belanda) namun ternyata ulama sudah kembali tumbuh semangat menulisnya sehingga ditemukan ada beberapa kitab tafsir karya ulama Indonesia. Misalnya A. Hassan dengan Al-Furqan fi Tafsir Qur’an, Iskandar Idris dengan Tafsir Hibarna, Prof. Dr. Mahmud Yunus dengan Tafsir Qur’an Karim, dan beberapa kitab lainnya.
Periode 1951-1980
Memasuki kurun waktu kedua ini, studi al Qur’an semakin berkembang disebabkan oleh –paling tidak- tiga hal. Pertama, Indonesia telah memploklamirkan kemerdekaannya, kedua, didirikannya perguruan tinggi, dan ketiga, tingkat intelektual makin membaik. Karena itulah pengajaran tafsir sudah mulai dilakukan secara formal.
Hal ini pun memberi dampak positif dalam pengembangan metodologi penyajian dan penulisan tafsir, sehingga metode yang digunakan tidak lagi terbatas dengan metode global namun sudah muncul metode-metode yang lain, berupa muqaran, tahlili dan tematik. Hal itu terlihat dengan banyaknya karangan-karangan ulama Indonesia, seperti Tafsir al Azhar oleh Buya Hamka dalam bentuk Tafsir Adby Ijtima’i, Tafsir al Bayan dan al Nur oleh Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir Sinar oleh Malik Ahmad, dan beberapa ulama yang lain. Bahkan bukan hanya itu, pengkajian al Qur’an pun sudah ada yang memformatnya dalam bentuk tulisan bernilai sastra, prosa, essay, dan beberapa bentuk yang lain sesuai dengan kapasitas masing-masing ulama
Periode 1981-1990
Paruh ketiga ini sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan paruh kedua di atas, hanya saja pembagian ini dilakukan untuk membedakan system pengajaran dan produktivitas tafsir. Karena pada periode ini semakin dibuka program S2 dan S3 sebagai upaya untuk menghasilkan karya tafsir yang lebih berkualitas. Hal itu terlihat pada metode dan cara berpikir ilmiah yang sistematis dan logis pada kedua program tersebut dan tidak ditemukan pada program S1. Di mana mereka diajarkan berbagai macam metodologi penafsiran sehingga mereka dituntut untuk mengkaji al Qur’an secara mandiri sesuai dengan kapasitas mereka sebagai pelajar dan pengkaji al Qur’an.
Berdasarkan hal tersebut, maka kebanyakan yang muncul pada paruh ketiga ini adalah, karya-karya yang terkait dengan metodologi dan atau berupa tafsir-tafsir tematik.
Periode 1990-sekarang
Pada priode ini bermunculanlah berbagai bentuk analisis terhadap penafsiran al-Qur’an dimana para ulama Indonesia berusaha menggali al-Qur’an secara komprehensif baik yang bersifat analitik maupun yang bersifat tematik dan ringkasan
Diantara karya-karay ulama Indonesia yang muncul dan bersifat anlitik -tematik (tahlili Maudhu’i) pada periode ini adalah Tafsir al-Misbah karya Prof. Dr Qurash Shihab yang menafsirkan ayat-ayat per-ayat dalam bentuknya tersendiri yang mengacu kepada tiga kitab tafsir standar yaitu Tafsir at-Thabary, Tafsir al-Qurthuby, Tafsir Ibnu Katsir. Dan diantara karya yang lain adalah Tafsir al-Qur’an Kontemporer yang mengkaji al-Qur’an berdasarkan kebutuhan masa sekarang. Dan banyak lagi karya lainnya yang tidak dapat kai sebutkan satu persatu.
Wallahu a’lam